Rabu, 27 Februari 2013


Scientists expect that rising carbon dioxide levels in the atmosphere will boost the growth of many plants. But a decade-long study has revealed that high CO2 levels have little long-term effect on plants in the desert.
Plants need carbon dioxide to perform photosynthesis and grow. Previous studies have suggested that high CO2 conditions often increase plant growth in forests, grasslands, and croplands, but little work had been done in deserts.
To fill the gap, researchers set up an experiment in the Mojave Desert, Nevada in 1997. For 10 years, the team maintained nine plots of shrubs, grasses, and other plants. Some plots had normal CO2 levels, while others had unusually high CO2 levels. In 2007, the researchers harvested and analyzed the plants.
When the team compared the plants grown in normal and high CO2 conditions, they didn’t see much of a difference in mass or canopy cover. The high-CO2 plants may have not shown any net improvement in growth because the area suffered a four-year-long drought, which cancelled out extra growth during wetter periods. In other words, desert plants can’t take advantage of the added CO2unless they also have enough water.  Roberta Kwok | 27 February 2013
Source: Newingham, B.A. et al. 2013. No cumulative effect of ten years of elevated [CO2] on perennial plant biomass components in the Mojave Desert. Global Change Biology doi: 10.1111/gcb.12177.

Senin, 11 Februari 2013

Berdasarkan Riset, Pegunungan Mekongga Layak sebagai Kawasan Konservasi

 

Puskonser (Bogor, 31/01/13)_International Cooperative Biodiversity Group (ICBG) Indonesia menilai hutan lindung Pegunungan Mekongga di Sulawesi Tenggara secara ilmiah memenuhi kriteria untuk ditetapkan sebagai kawasan hutan konservasi.  

Penilaian ini didasarkan pada kajian Tim Associate Program (AP)-4 ICBG terhadap hasil-hasil riset AP-1, AP-2 dan AP-3 serta kesesuaian dengan kriteria yang ditetapkan oleh peraturan perundangan yang ada.  Associate Program (AP)-4  memiliki tugas utama meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat lokal untuk mendukung kelestarian keanekaragaman hayati.
“Kalau kawasan Pegunungan Mekongga ini bisa menjadi kawasan konservasi, mungkin ini adalah kawasan konservasi pertama yang usulannya berdasarkan hasil riset,” kata Ir. Adi Susmianto, M.Sc., Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser) sekaligus Advisory Board ICBG, pada pembukaan Lokakarya Usulan Perubahan Fungsi Hutan Lindung Komplek Hutan Pegunungan Mekongga Menjadi Taman Nasional di Kendari, Selasa (22/01).
“Hampir semua kriteria untuk menjadi kawasan konservasi terpenuhi, yakni kriteria fisik wilayah, biologi, ekologi, hidrologi dan sosial ekonomi,” kata Dr. Hendra Gunawan, Peneliti Utama di Puskonser yang juga merupakan AP-4 Leader, di Kendari, Selasa (22/01).  
Lebih lanjut Dr. Hendra menyampaikan, secara akademik akan ditambahkan kajian tentang kearifan masyarakat di sekitar Mekongga. Tujuannya agar persepsi masyarakat dapat diakomodasi sebagai bagian dari pola manajemen penetapan dan pengelolaan kawasan.
Sejak tahun 2011 APP-4 telah merintis komunikasi yang baik dengan berbagai stakehlders dan membangun persepsi di tingkat lokal, kabupaten hingga Provinsi Sulawesi Tenggara tentang pentingnya melindungi Pegunungan Mekongga.
“Associate Program (AP)-4 ICBG telah berhasil menggalang dukungan di tingkat lokal (kabupaten) untuk mengusulkan kawasan Pegunungan Mekongga yang sebelumnya berstatus Hutan Lindung untuk ditingkatkan menjadi Hutan Konservasi,“ kata Ir. Adi Susmianto, M.Sc.Untuk itu, AP-4 telah menyiapkan draft Naskah Akademik Usulan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung Pegunungan Mekongga Menjadi Hutan Konservasi.
Dukungan lokal tersebut tergambar dari sambutan positif Pemerintah Kabupaten Kolaka dan Kabupaten Kolaka Utara pada workshop“Masa Depan Mekongga” di Lasusa, Kab. Kolaka Utara , 15 November 2011 lalu. Melalui workshop yang dihadiri pejabat Pemda Kolaka dan Kolaka Utara serta para stakeholder termasuk indigenous people, tokoh adat, LSM lokal serta guru dan pelajar, dihasilkan kesepakatan bersama untuk mengusulkan Mekongga menjadi kawasan konservasi. Ini menunjukkan usulan tersebut melalui proses bottom up, bukan top down.
Dukungan tersebut bahkan juga diperoleh dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara. Lokakarya pada Selasa (22/01) di Kendari ini merupakan program AP-4 ICBG bekerja sama dengan Pemprov. Sulawesi Tenggara. Lokakarya ini bertujuan untuk sosialisasi dan pemantapan dukungan serta komitmen dari berbagai stakholders, terutama pemerintah daerah tingkat II dan provinsi, sebagai proses bottom up pengusulan perubahan fungsi hutan lindung menjadi hutan konservasi (taman nasional).
Gubernur Sulawesi Tenggara, Ir. Nur Alam, M.Si. secara tegas menyampaikan komitmennya tentang dukungan daerah terhadap pengusulan perubahan fungsi kawasan tersebut. "Kalau kawasan pegunungan Mekongga itu sudah menjadi taman nasional, maka legitimasi akan lebih kuat ketimbang selama ini menjadi hutan lindung," kata Gubernur, pada penutupan lokakarya tersebut.
Pemerintah daerah, menurut Gubernur, sangat menyadari mengenai pentingnya melestarikan hutan di Pegunungan Mekongga sebagai pusat keanekaragaman hayati Sulawesi yang kaya dan unik.  Pemerintah daerah juga memiliki keinginan yang kuat untuk berpartisipasi aktif dalam mengamankan dan mengelola hutan lindung Mekongga jika kelak ditetapkan menjadi taman nasional.
Pemprov Sulawesi Tenggara berencana mengusulkan kepada Menteri Kehutanan dan memfasilitasi tim terpadu dalam rangka perubahan fungsi tersebut.  Usulan perubahan fungsi tersebut diharapkan dapat disetujui pemerintah pusat sebelum tahun 2014 mendatang.
Terkait proses bottom up dan partisipatif, Agus Budi Utomo, Direktur Eksekutif Burung Indonesia, membagi pengalamannya dalam proses pembentukan taman nasional melalui paparan mengenai  Lesson Learned Pengelolaan Taman Nasional. Proses tersebut telah berhasil menjadikan kawasan Manupeu Tanadaru sebagai taman nasional yang dibanggakan dan dijaga oleh masyarakat sekitarnya.
Proses membangun partisipasi masyarakat dalam pembentukan TN. Manupeu Tanadaru di mulai dari penetapan batas-batas kawasan hingga pada perencanaan dan pengelolaan kawasan. Pengalaman ini dapat dijadikan salah satu pembelajaran dalam proses pembentukan Taman Nasional Mekongga di Sulawesi Tenggara. (DP)***