EUTR mengharuskan para importir kayu di Eropa untuk memastikan bahwa kayu yang mereka impor ke wilayah EU berasal dari sumber-sumber yang legal. Perusahaan pengimpor diwajibkan memiliki sistem mumpuni guna melacak asal muasal semua produk kayu—termasuk pulp dan kertas—serta menganalisis legalitas produksi tersebut sesuai peraturan dari negara asalnya. Dengan diaktifkannya kebijakan tersebut, penegak hukum di negara-negara Uni Eropa sekarang dapat menyita kayu haram yang masuk dan menjatuhkan hukuman bagi importir dan pedagang yang melanggar.
Kebijakan ini sejalan dengan upaya pemerintah Indonesia yang telah lama mendorong negara-negara pengimpor kayu dan produk perkayuan agar tidak menjadi pasar kayu haram dari Indonesia, baik yang langsung dikirim dari Indonesia maupun yang melalui negara-negara perantara.
WWF menyambut baik terbitnya kebijakan ini. Sejak 2010, setidaknya dua laporan penting mengenai kayu haram yang masuk ke wilayah Uni Eropa telah dirilis WWF untuk mendukung advokasi EUTR. Kayu haram membawa kerugian besar secara ekonomis, yang nilainya diperkirakan mencapai Rp 300 triliun menurut UNEP. Di samping itu, praktik ilegal tersebut mengancam kehidupan masyarakat di sekitar hutan, kelestarian hutan alam, serta keragaman hayati dan ekosistem penting yang terdapat di dalamnya.
Indonesia relatif diuntungkan dengan adanya implementasi EUTR dan diharapkan dapat menambah nilai perdagangan kayu dari Indonesia yang akan meningkatkan devisa. Sejak 2009, Pemerintah menerapkan secara luas verifikasi legalitas kayu (SVLK) dan sampai saat ini sudah diterapkan di lebih dari 200 perusahaan di seluruh Indonesia.
WWF-Indonesia, melalui inisiatif GFTN (Global Forest & Trade Network) mendorong pengelolaan hutan lestari dan pemenuhan/pembelian bahan baku kayu yang ramah lingkungan. WWF bekerja sama dengan pelaku usaha melalui upaya pendampingan dan edukasi. Kini GFTN telah memiliki 38 anggota dengan cakupan area hutan yang keanggotaannya mencapai hampir 2 juta hektar di Indonesia.
“Pemberlakuan EUTR ini jelas membantu upaya konservasi di Indonesia. Semestinya akan semakin banyak perusahaan kehutanan yang menerapkan tata kelola kayu dengan benar, sehingga program yang digawangi GFTN akan semakin relevan,” ujar Nazir Foead, Direktur Konservasi WWF-Indonesia. Nazir menambahkan, walaupun hal tersebut merupakan sebuah kemajuan, EUTR baru melihat sebatas pemenuhan legalitas produk, belum melihat apakah produk tersebut dihasilkan dengan cara yang lestari atau tidak.
“Identifikasi dan pengelolaan hutan bernilai konservasi tinggi misalnya, bukan obyek yang dilindungi EUTR, sehingga walaupun kebijakan ini adalah langkah positif, namun permintaan pembelian produk-produk hijau dari Indonesia tetap perlu didorong," tegas Nazir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar